Gemercik
hujan terurai mesra disiang yang tenang. Aku masih termenung dalam gersang.
Hujan kali ini, apakah kau sengaja mewakili perasaanku? Aku tak tau. Yang kutau
hujan adalah rahmat Tuhan bagi mahluk semesta. Namun turunnya hujan ini
hanyalah menambah kegersanganku belaka. Tak mungkin rasanya aku merasakan
dinginnya tetesan air kali ini. Luka ku seperti terbasuh duri yang menganga.
Tak semestinya aku merasakan kegalauan ini, ga galau ga gaul meeen. Asap
menjadi teman setia untuk kali ini, ahhhh aku terpuruk selalu.
Kejamnya
hidup menjadi sahabat, ganasnya alam menjadi teman. Aku terbiasa dengan suasana
ini. Entah sampai kapan ini akan berakhir? Tapi sudut hatiku yang lain tak
ingin suasana ini berakhir. Aku telah terbuai dengan rasa ini. Rasa yang tak
kunjung reda merajam rana.
Entah
kepada siapakah aku mengadu, hati yang pilu kian menderu. Maya yang menjadi
dambaan curhatanku. Dia tak pernah berpaling ketika ratapan tulisan menghantar
luka mendera. Dia selalu ada, ketika rasa tak kunjung mengakhiri lara. Mendung
menggelayut sendu di langit hatiku. Aku terpaku, aku kaku untuk menuaikan rasa
yang kian membisu.
Gemuruh
petir menjadi backsound yang sangat indah. Tak peduli orang menganggapnya
derita. Tapi aku bangga akan suaranya. Yang mengaum durja membelah kegelapan,
kesunyian tak pernah ia hiraukan.
Aku
kagum padanya, suaranya bahkan kilatan cahanya. Dia gagah, dia tegap menghadapi
mendung yang menyelimutinya. Dia takkan berhenti bersuara sebelum mendung
sirna. Ingin aku meneladaninya, untuk tegar dalam menghadapi dunia. Dunia ini
terlalu fana, cinta ini terlalu menyiksa.
Suatu
saat aku berharap ada uluran tangan hampa membelai indah luka. Tak peduli
siapa, dimana dan entah apa yang akan ia berikan. Jiwa ini terlalu sunyi untuk
berbagi. Hati ini menggigil mendekap sepi. Adakah dia?
0 komentar:
Posting Komentar