Jumat, 28 September 2012

Rincik Hujan



Gemercik hujan terurai mesra disiang yang tenang. Aku masih termenung dalam gersang. Hujan kali ini, apakah kau sengaja mewakili perasaanku? Aku tak tau. Yang kutau hujan adalah rahmat Tuhan bagi mahluk semesta. Namun turunnya hujan ini hanyalah menambah kegersanganku belaka. Tak mungkin rasanya aku merasakan dinginnya tetesan air kali ini. Luka ku seperti terbasuh duri yang menganga. Tak semestinya aku merasakan kegalauan ini, ga galau ga gaul meeen. Asap menjadi teman setia untuk kali ini, ahhhh aku terpuruk selalu.

Kejamnya hidup menjadi sahabat, ganasnya alam menjadi teman. Aku terbiasa dengan suasana ini. Entah sampai kapan ini akan berakhir? Tapi sudut hatiku yang lain tak ingin suasana ini berakhir. Aku telah terbuai dengan rasa ini. Rasa yang tak kunjung reda merajam rana.

Entah kepada siapakah aku mengadu, hati yang pilu kian menderu. Maya yang menjadi dambaan curhatanku. Dia tak pernah berpaling ketika ratapan tulisan menghantar luka mendera. Dia selalu ada, ketika rasa tak kunjung mengakhiri lara. Mendung menggelayut sendu di langit hatiku. Aku terpaku, aku kaku untuk menuaikan rasa yang kian membisu.

Gemuruh petir menjadi backsound yang sangat indah. Tak peduli orang menganggapnya derita. Tapi aku bangga akan suaranya. Yang mengaum durja membelah kegelapan, kesunyian tak pernah ia hiraukan.

Aku kagum padanya, suaranya bahkan kilatan cahanya. Dia gagah, dia tegap menghadapi mendung yang menyelimutinya. Dia takkan berhenti bersuara sebelum mendung sirna. Ingin aku meneladaninya, untuk tegar dalam menghadapi dunia. Dunia ini terlalu fana, cinta ini terlalu menyiksa.

Suatu saat aku berharap ada uluran tangan hampa membelai indah luka. Tak peduli siapa, dimana dan entah apa yang akan ia berikan. Jiwa ini terlalu sunyi untuk berbagi. Hati ini menggigil mendekap sepi. Adakah dia?

Artikel Terkait :

Bagikan :

0 komentar:

Posting Komentar